Pedagogik
About Lesson

Landasan Ilmu Pengetahuan

Setelah Anda memahami konsep dan rasional ilmu pendidikan, pembahasan kita selanjutnya adalah mengenai landasan ilmu pendidikan. Anda pasti tidak asing lagi dengan kata “landasan” bukan? landasan mengandung arti sebagai dasar atau tumpuan. Istilah landasan dikenal pula sebagai fondasi. Mengacu pada arti kata tersebut maka dapat dipahami bahwa landasan merupakan suatu dasar pijakan atau fondasi  tempat  berdirinya  sesuatu.  Berdasarkan  sifatnya,  landasan  dibedakan menjadi dua jenis yaitu landasan yang bersifat material dan konseptual (Robandi, 2005:  1).  Landasan  material  lebih  bersifat  fisik  atau  berwujud  seperti  sarana prasarana, peserta didik, dan lingkungan, sedangkan landasan konseptual lebih bersifat asumsi atau teori-teori, contohnya adalah UUD 1945 dan teori pendidikan.

Dengan berpegang teguh pada landasan pendidikan yang kokoh, setidaknya kesalahan-kesalahan konseptual dalam pendidikan yang merugikan dapat dihindari, sehingga pada praktiknya pendidikan dapat berjalan sebagaimana fungsinya dan dapat  dipertanggungjawabkan.  Dalam  praktik  pendidikan,  sebagai  pendidik

profesional semestinya mampu melaksanakan peranan sesuai semboyan “tut wuri handayani”. Untuk itu para guru idealnya memahami dan meyakini asumsi-asumsi dari semboyan tersebut. Sebab jika tidak, sekalipun tampaknya pendidik tersebut seperti  melaksanakan  peranan  sesuai  semboyan  “tut  wuri  handayani” namun perbuatannya  tidak  mencerminkan  daris  emboyan  tersebut.  Bahkan  mungkin bersikap  bertentangan,  misalnya  pendidik  tidak  menghargai  perbedaan  dan keunikan yang dimiliki oleh peseta didik dan merasa sebagai penguasa tunggal dalam pembelajaran. Sebaliknya, jika pendidik memahami dan meyakini asumsi- asumsi dalam semboyan “tut wuri handayani”, yaitu kodrat alam dan kebebasan siswa, maka pendidik akan dengan sadar dan mantap melaksanakan peranannya. Berdasarkan contoh tersebut jelas kiranya bahwa asumsi atau landasan pendidikan akan berfungsi sebagai titik tolak atau acuan bagi para pendidik professional dalam melaksanakan praktik pendidikan. Pada bagian ini, Anda akan belajar mengenai macam-macam landasan konseptual ilmu pendidikan yang terdiri dari landasan filosofis, landasan empiris, yuridis, dan landasan religi.

1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis pendidikan adalah pandangan-pandangan yang bersumber dari filsafat pendidikan mengenai hakikat manusia, hakikat ilmu, nilai serta perilaku yang dinilai baik dan dijalankan setiap lembaga pendidikan. Filosofis artinya berdasarkan filsafat pendidikan (Umar & Sulo 2010: 97). Filsafat (philosophy) berasal dari kata philos dan shopia. Philos berarti cinta dan shopia berarti kebijaksanaan, pengetahuan dan hikmah  dalam  Rukiyati  (2015:  1).  Filsafat  menelaah  sesuatu  secara radikal,  menyeluruh  dan  konseptual  yang  menghasilkan  konsepsi- konsepsi mengenai kehidupan dan dunia. Dalam pendidikan yang menjadi pokok utama adalah manusia, maka landasan filosofis pendidikan adalah untuk  menjawab  apa  sebenarnya  hakikat  manusia.  Berdasarkan  sudut pandang  pedagogik,  sebagaimana  dikemukakan  oleh  M.J  Langeveld (1980) pendidikan berlangsung dalam pergaulan antara orang dewasa dengan anak atau orang yang belum dewasa dalam suatu lingkungan. Anak atau orang yang belum dewasa adalah sebagai sesuatu “kemungkinan” yang  pada  dasarnya  baik.  Menurut  Langeveld  dalam  perjalanannya manusia bisa menjadi baik atau tidak baik, sehingga pendidikanlah yang memiliki andil untuk menjadikannya baik.

Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kepribadian individu yang lebih baik (pedagogik) dan ke arah yang positif. Pendidikan sama sekali bukan untuk merusak kepribadian anak atau membawa mereka ke arah yang negatif seperti memberi bekal pengetahuan atau keterampilan bagaimana menjadi penjahat, pencuri dan sebagainya (demagogik). Teori- teori  pendidikan  seperti  essensialisme,  behaviorsisme,  perenialisme, progresivisme, rekronstruktivisme dan humanisme merupakan teori yang berdasarkan pada filsasat tertentu yang akan mempengaruhi konsep dan praktik pendidikan (Umar & Sulo 2010: 88).

Esensialisme  merupakan  mahzab  filsafat  pendidikan  yang menerapkan prinsip idealisme dan realisme secara eklektis. Berdasarkan eklektisme  tersebut  maka  esensialisme  menitik-beratkan  penerapan prinsip-prinsip idealisme atau realisme dengan tidak meleburkan prinsip- prinsipnya. Filsafat idealisme memberikan dasar tinjauan yang realistis seperti  dalam  bidang  matematika,  karena  matematika  adalah  alat menghitung dari apa-apa yang riil, materiil dan nyata.

Perenialisme  hampir  sama  dengan  essensialisme,  tetapi  lebih menekankan pada keabadian atau ketetapan atau kenikmatan yaitu hal-hal yang  ada  sepanjang  masa  (Imam  Barnadib  1988:34).  Perenialisme mementingkan  hal-hal  berikut:  (a)  pendidikan  yang  abadi;  (b)  inti pendidikan yaitu mengembangkan keunikan manusia yaitu kemampuan berfikir; (c) tujuan belajar yaitu untuk mengenal kebenaran abadi dan universal;  (d)  pendidikan  merupakan  persiapan  bagi  hidup  yang sebenarnya; (c) kebenaran abadi diajarkan melalui pelajaran dasar yang mencakup bahasa, matematika, logika dan IPA dan Sejarah.

Progresivisme  yaitu  perubahan  untuk  maju.  Manusia  akan mengalami  perkembangan  apabila  berinteraksi  dengan  lingkungan sekitarnya berdasarkan pemikiran. Progresivisme atau gerakan pendidikan progresif mengembangkan teori pendidikan yang berdasar pada beberapa prinsip. Progresivisme menggunakan prinsip pendidikan sebagai berikut : (a) Proses pendidikan ditemukan dari asal, tujuan dan maksud yang ada pada siswa termasuk di dalamnya minat siswa; (b) siswa itu aktif bukan pasif; (c) peran guru sebagai penasehat, pemberi petunjuk, dan mengikuti keinginan  siswa,  bukan  otoriter  dan  direktur  di  kelas;  (d)  sekolah merupakan  bentuk  kecil  dari  sebuah  masyarakat;  (e)  aktifitas  kelas berpusat  pada  problem  solving bukan  mengajarkan  berbagai  mata pelajaran; (f) suasana sosial kelas kooperatif dan demokratis.

Rekonstruksionalisme adalah suatu kelanjutan yang logis dari cara berpikir progesif dalam pendidikan. Individu tidak hanya belajar tentang pengalaman-pengalaman  kemasyarakatan  masa  kini  di  sekolah  tetapi haruslah  mempelopori  masyarakat  ke  arah  masyarakat  baru  yang diinginkan. Dalam pengertian lain, rekonstruksionisme adalah mahzab filsafat pendidikan yang menempatkan sekolah atau lembaga pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat.

Behaviorisme memiliki beberapa akar atau sumber ideologi atau filsafat  yaitu  realisme  dan  positivisme.  Behaviorisme  pendidikan memandang perilaku siswa ditentukan oleh stimulus dan respon. Tokoh dari  konsep  ini  adalah  Pavlov,  Skinner  dan  Thorndike.  Humanisme merupakan kelanjutan dari prinsip progresivisme karena telah menganut banyak prinsip dari aliran tersebut seperti pendidikan yang berpusat pada siswa, guru tidak otoriter fokus terhadap aktivitas dan partisipasi siswa.

Pancasila sebagaimana yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan landasan filosofis pendidikan Indonesia (Arif Rohman, 2013). Hakikat hidup Bangsa Indonesia adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan perjuangan yang didorong oleh keinginan luhur untuk mencapai dan mengisi kemerdekaan, selanjutnya yang menjadi keinginan luhur  Bangsa  Indonesia  adalah  memajukan  kesejahteraan  umum  dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 2 Undang-Undang No.20 Tahun 2003  tentang  “Sistem  Pendidikan  Nasional”  menjelaskan  bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tujuan pendidikan Bangsa Indonesia yaitu pembentukan manusia Indonesia yang ideal yaitu manusia seutuhnya yang diwarnai oleh sila-sila Pancasila. Manusia ideal adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada  Tuhan  Yang  Maha  Esa  dan  berbudi  pekerti  luhur,  memiliki pengetahuan  dan  keterampilan,  kesejahteraan  jasmani  dan  rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan ini mengoperasionalkan manusia Indonesia seutuhnya dan juga mengoperasionalkan wujud sila- sila  dalam  diri  peserta  didik.  Perlu  ditegaskan  bahwa  pengamalan Pancasila  dalam  bidang  pendidikan  seharusnya  menyeluruh  dan  utuh mencerminkan lima sila dalam Pancasila sebagai yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan ketetapan MPR RI No II/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila menegaskan pula bahwa pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud Bangsa  Indonesia  dan  masyarakat  yang  dianggap  baik.  Sumber  dari seluruh sumber nilai yang diyakini menjadi pangkal serta bermuaranya setiap  keputusan  dan  tindakan  dalam  pendidikan.  Dengan  kata  lain, pancasila sebagai sumber sistem nilai dalam pendidikan.

Seperti kita ketahui bahwa pendidikan itu memiliki objek telaah, bertujuan, memiliki kegiatan dan metode, yang secara detail dibahas dalam filsafat ontologi, aksiologi dan epistemologi. Secara ontologi pendidikan memiliki objek telaah yang riil yaitu manusia. Ontologi sendiri diartikan sebagai suatu cabang filsafat atau ilmu yang mempelajari suatu yang ada atau  berwujud  berdasarkan  logika  sehigga  dapat  diterima  oleh  akal manusia  yang  bersifat  rasional  dapat  difikirkan  dan  sudah  terbukti keabsahaanya. Aspek ontologi dari pendidikan haruslah diuraikan secara metodis,  sistematis,  koheren,  rasional,  komprehensif,  radikal,  serta universal.

Jika  dilihat  dari  sudut  pandang  filsafat  aksiologi,  pendidikan bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan ke arah yang  positif.  Aksiologi  sendiri  dapat  diartikan  sebagai  ilmu  yang mempelajari tentang tujuan ilmu pengetahuan atau hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan. Aksiologi juga dipahami sebagai teori nilai yang menggunakan penilaian etika dan estetika. Etika berfokus pada perilaku, norma dan adat istiadat manusia, sedangkan estetika membahas tentang  nilai  keindahan.  Suatu  objek  yang  indah  bukan  semata-mata bersifat  selaras  serta  berpola  baik  melainkan  harus  juga  mempunyai kepribadian.

Epistemologi merupakan bagian dari filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Objek material epistimologi adalah pengetahuan, sedangkan objek  formalnya  adalah  hakekat  pengetahuan.  Landasan  epistimologi pendidikan adalah pandangan-pandangan  yang bersumber dari cabang filsafat epistimologi yang disebut juga teori mengetahui dan pengetahuan (Kadir, 2015). Epistimologi erat kaitannya dengan pendidikan khususnya untuk kegiatan belajar mengajar di kelas. Epistimologi membahas konsep- konsep dasar yang sangat umum dari proses mengetahui sehingga erat kaitannya dengan metode pengajaran dan pembelajaran.

Guru-guru di dalam kelas memberikan berbagai jenis pengetahuan sesuai  dengan  disiplin  ilmunya  masing-masing.  Dalam  praktik pembelajaran alangkah baiknya apabila guru mengetahui berbagai jenis pengetahuan yang diberikannya, apa sumber pengetahuan tersebut dan bagaimana tingkat kepercayaan terhadap pengetahuan tersebut. Hal ini akan membantu guru untuk menyeleksi bahan ajar dan penekananya pada materi tertentu dalam mengajar.

Terdapat empat jenis pengetahuan menurut taksonomi Bloom (Lorin W  Anderson  &  David  R.  Krathwohl,  2010).  Jenis-jenis  pengetahuan tersebut  meliputi  pengetahuan  faktual,  konseptual,  prosedural  dan metakognitif. Pengetahuan faktual meliputi elemen-elemen dasar yang harus  diketahui  siswa  ketika  akan  mempelajari  disiplin  ilmu  atau menyelesaikan masalah dalam disiplin ilmu tersebut. Pengetahuan faktual terdiri  dari  dua  sub  jenis:  (a)  Pengetahuan  tentang  terminologi. Pengetahuan ini melingkupi pengetahuan tentang label dan simbol verbal dan nonverbal (misalnya, kata, angka, tanda dan gambar), (b) Pengetahuan tentang detail-detail dan elemen-elemen yang spesifik. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan tentang peristiwa, lokasi, orang, tanggal, sumber informasi  dan  semacamnya.  Pengetahuan  ini  meliputi  informasi  yang mendetail dan spesifik.

Pengetahuan konseptual mencakup pengetahuan tentang kategori, klasifikasi dan hubungan antar dua atau lebih kategori atau klasifikasi pengetahuan yang lebih kompleks dan tertata. Pengetahuan konseptual meliputi skema, model mental, atau teori yang implisit atau eksplisit dalam beragam model psikologi kognitif. Pengetahuan konseptual terdiri dari tiga sub jenis: (a) Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori. Pengetahuan ini  meliputi  kategori,  kelas,  divisi  dan  susunan  yang  spesifik  dalam disiplin-disiplin ilmu. Perlunya klasifikasi dan kategori dapat digunakan untuk menstrukturkan dan mensistematisasikan fenomena. Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori lebih umum dan sering lebih abstrak daripada pengetahuan tentang terminologi dan fakta-fakta yang spesifik. (b) Pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi. Prinsip dan generalisasi dibentuk oleh klasifikasi dan kategori. Umumnya merupakan bagian yang dominan  dalam  sebuah  disiplin  ilmu  dan  digunakan  untuk  mengkaji fenomena  atau  menyelesaikan  masalah-masalah  dalam  disiplin  ilmu tersebut.  pengetahuan  tentang  prinsip  dan  generalisasi  mencakup pengetahuan tentang abstraksi-abstraksi tertentu yang meringkas hasil- hasil pengamatan terhadap suatu fenomena. (c) Pengetahuan tentang teori, model, dan struktur. Pengetahuan ini meliputi pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi serta antara keduanya yang menghadirkan pandangan yang jelas, utuh dan sistemik tentang sebuah fenomena, masalah, atau materi  kajian  yang  kompleks.  Pengetahuan  tentang  teori,  model,  dan struktur  mencakup  pengatahuan  tentang  berbagai  paradigma, epistemologi, teori dan model yang digunakan dalam disipin-disiplin ilmu untuk  mendeskripsikan,  memahami,  menjelaskan  dan  memprediksi fenomena.

Pengetahuan prosedural meliputi  bagaimana melakukan sesuatu, mempraktikkan  metode-metode  penelitian,  dan  kriteriakriteria  untuk menggunakan ketrampilan, algoritma, teknik dan metode. Pengetahuan prosedural bergulat dengan pertanyaan “bagaimana”, dengan kata lain pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan tentang beragam proses. Pada pengetahuan ini terdiri dari tiga subjenis: (a) Pengetahuan tentang keterampilan dalam bidang tertentu dan algoritme. (b) Pengetahuan tentan teknik dan metode dalam bidang tertentu. Pengetahuan ini mencakup pengetahuan yang umumnya merupakan hasil konsensus, kesepakatan atu ketentuan dalam disiplin ilmu, bukan hasil pengamatan atau eksperimen atau penemuan langsung. Pada umumnya pengetahuan ini menunjukkan bagimana para ilmuan dalam bidang mereka berpikir dan menyelesaikan masalah-masalah, bukan hasil penyelesaian masalah atau pemikiran. (c) Pengetahuan  tentang  kriteria  untuk  menentukan  kapan  harus menggunakan prosedur yang tepat. Pengetahuan metakognitif meliputi pengetahuan tentang kognisi secara umum dan kesadaran dan pengeahuan tentang kognisi diri sendiri. Pada pengetahuan ini meliputi tiga subjenis. (a) Pengetahuan strategis. Pengetahuan strategis merupakan pengetahuan perihal strategi-strategi belajar dan berpikir serta pemecahan masalah. Pengetahuan  ini  mencakup  strategi-strategi  umum  umum  untuk menyelesaikan masalah (problem solving) dan berpikir. (b) Pengetahuan tentang  tugas-tugas  kognitif.  (c)  Pengetahuan  diri.  Pengetahuan  ini mencakup  pengetahuan  tentang  kekuatan  dan  kelemahan  diri  sendiri dalam kaitannya kognisi dan belajar.

2. Landasan Yuridis

Landasan  yuridis  pendidikan  adalah  aspek-aspek  hukum  yang mendasari  dan  melandasi  penyelenggaraan  pendidikan  (Arif  Rohman, 2013). Pendidikan tidak berlangsung dalam ruang hampa melainkan ada dalam lingkungan masyarakat tertentu dengan norma dan budaya yang melekat  di  dalamnya.  Oleh  karena  itu,  pendidikan  melekat  pada masyarakat,  kemudian  masyarakat  tersebut  menginginkan  pendidikan yang  sesuai  dengan  latar  belakangnya.  Supaya  pendidikan  tidak melenceng dari jalurnya maka perlu diatur dalam regulasi yang berlaku di masyarakat/negara. Sistem pendidikan di Indonesia diatur oleh Undang- Undang Dasar 1945 yang kemudian dijabarkan dalam peraturan-peraturan hukum  lainnya  seperti,  Undang-Undang  Dasar  Republik  Indonesia, ketetapan  MPR.  Undang-Undang,  Peraturan  Pemerintah  pengganti Undang-Undang,  Peraturan  Pemerintah,  Keputusan  Presiden  dan peraturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lain. Aturan sistem pendidikan tersebut tetap didasarkan pada falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Berikut ini beberapa landasan hukum sistem pendidikan di Indonesia (Hasbullah, 2008).

a) Pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan Nasional

(1)  Ayat  1  menyatakan  bahwa  tiap-tiap  warga  negara  berhak mendapatkan pendidikan.

(2)  Ayat 2 menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

(3) Ayat  3  menyatakan  bahwa  pemerintah  mengusahakan  dan menyelenggarakan  satu  sistem  pendidikan  nasional,  yang meningkatkan keimanan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka  mencerdaskan  kehidupan  bangsa  yang  diatur  dengan undang-undang.

(4)  Ayat  4 menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan  sekurang-kurangnya  20%  dari  APBN  dan  APBD untuk    memenuhi    kebutuhan    penyelenggaraan    pendidikan nasional.

(5) Ayat  5  menyatakan  bahwa  pemerintah  memajukan  ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

b) Undang-Undang tentang pokok pendidikan dan kebudayaan

(1)  UU No 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 1 dan 2

(a) Ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran  agar  peserta  didik  secara  aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual  keagamaan,  pengendalian  diri,  kepribadian, kecerdasan,  akhlak  mulia,  serta  keterampilan  yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.

(b) Ayat  2  menyatakan  bahwa  pendidikan  nasional  ialah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1045 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

(2) UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini memuat 84 pasal tentang ketentuan profesi guru dan dosen di Indonesia

(3)  UU No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

c) Peraturan Pemerintah

(1)  Peraturan  Pemerintah  No.  13  Tahun  2015  tentang  Standar Nasional Pendidikan (SNP).

(2)  Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2006 tentang standar  Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

(3)  Peraturan  Pemerintah  No  23  Tahun  2006  Tentang  Standar Kompetensi Lulusan.

(4)  Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 Tentang Guru.

(5)  Peraturan Menteri No. 13 Tahun 2007 Tentang Kepala Sekolah.

(6)  Peraturan Menteri No 16 Tahun 2007 dan No 32 Tahun 2008 tentang Guru.

(7)  Peraturan   Menteri   No   19   Tahun   2007   tentang   Standar Pengelolaan.

(8)  Peraturan Menteri No 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian.

(9)  Peraturan Menteri No 24 Tahun 2007 dan Permen No. 33 Tahun 2008 tentang Standar Sarana dan Prasarana.

(10) Peraturan Menteri No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses.

(11) Peraturan Menteri No 47 Tahun 2008 tentang Standar Isi.

(12) Peraturan Menteri No 24 Tahun 2008 tentang TU.

(13) Peraturan Menteri No 25 Tahun 2008 tentang Perpustakaan.

(14) Peraturan Menteri No 26 Tahun 2008 tentang Laboratorium

3. Landasan Empiris

 a. Landasan Psikologis

 Psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala kejiwaan yang ditampakkan dalam bentuk perilaku baik manusia ataupun hewan, yang pemanfaatannya untuk kepentingan individu atau manusia baik disadari  ataupun  tidak,  yang  diperoleh  melalui  langkah-langkah ilmiah tertentu serta mempelajari penerapan dasar-dasar atau prinsip- prinsip, metode, teknik, dan pendekatan psikologis untuk memahami dan  memecahkan  masalah-masalah  dalam  pendidikan  (Santrock, 2017).  Proses  kegiatan  pendidikan  melibatkan  kegiatan  yang menyangkut  interaksi  kejiwaan antara pendidik dan peserta didik dalam suasana nilai- nilai budaya suatu masyarakat yang didasarkan pada nilia-nilai kemanusiaan. Pendidikan selalu melibatkan aspek- aspek yang tidak dipisahkan satu sama lain yaitu aspek kejiwaan, kebudayaan, kemasyarakatan, norma-norma, dan kemanusiaan.

Landasan  psikologi  dalam  pendidikan  adalah  asumsi-asumsi yang bersumber dari studi ilmiah tentang kehidupan manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi manusia  pada  setiap  tahapan  usia  perkembangan  tertentu  untuk mengenali  dan  menyikapi  manusia  yang  bertujuan  untuk memudahkan  proses  pendidikan  (Robandi,  2005:25).  Pendidikan harus  mempertimbangkan  aspek  psikologi  peserta  didik  sehingga peserta didik harus di pandang sebagai subjek yang akan berkembang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Sekurang- kurangnya terdapat tiga prinsip umum perkembangan peserta didik sebagai manusia yaitu (1) perkembangan setiap individu menunjukan perbedaan  dalam  kecepatan  dan  irama;  (2)  perkembangan berlangsung relatif, teratur dan (3) perkembangan berlangsung secara bertahap.

Landasan  psikologi  pendidikan  mencakup  dua  ilmu  yaitu psikologi  perkembangan  dan  psikologi  belajar.  Psikologi perkembangan  adalah  ilmu-ilmu  yang  mempelajari  tingkah  laku individu  dalam  perkembangannya  meliputi  perkembangan  fisik, psikologi, sosial, emosional, emosi dan moral. Terdapat tiga teori pendekatan tentang perkembangan menurut Syaodih (2004) yaitu (1) Pendekatan  Pentahapan.  Perkembangan  individu  berjalan  melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri khusus yang  berbeda  dengan  ciri-ciri  pada  tahap-tahap  yang  lain.  (2) Pendekatan  Diferensial.  Pendekatan  ini  memandang  individu- individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan.

Atas dasar ini lalu orang membuat kelompok-kelompok. Anak- anak  yang  memiliki  kesamaan  dijadikan  satu  kelompok.  Maka terjadilah kelompok berdasarkan jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat,  ras,  agama,  status  sosial  ekonomi,  dan  sebagainya.  (3) Pendekatan  Ipsatif.  Pendekatan  ini  berusaha  melihat  karakteristik setiap  individu,  dapat  saja  disebut  sebagai  pendekatan  individual (melihat  perkembangan  seseorang  secara  individual).  Dari  ketiga pendekatan ini, yang paling banyak dilaksanakan adalah pendekatan pentahapan.  Pendekatan  pentahapan  ada  dua  macam  yaitu  yang bersifat menyeluruh dan yang bersifat khusus. Yang menyeluruh akan mencakup  segala  aspek  perkembangan  sebagai  faktor  yang diperhitungkan  dalam  menyusun  tahap-tahap  perkembangan. Sedangkan yang bersifat khusus hanya mempertimbangkan faktor tertentu  saja  sebagai  dasar  menyusun  tahap-tahap  perkembangan anak, misalnya pentahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson.

Menurut  Piaget  terdapat  empat  perkembangan  kognisi  anak (Budingsih, 2004) yaitu (1) periode sensori motor pada usia 0-2 tahun, pada usia ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks (2) periode praoperasonal yaitu usia 2-7 tahun, perkembangan bahasa pada usia ini sangat pesat, peranan intuisi dalam memutuskan sesuatu masih besar, (3) periode operasi konkret usia 7-11 tahun, anak sudah dapat  berpikir  logis,  sistematis  dan  memecahkan  masalah  yang bersifat konkret. (4) peirode operasi formal usia 11-15 tahun anak- anak sudah dapat berpikir logis terhadap masalah baik yang bersifat konkret maupun abstrak. Anak pada tahap ini dapat membentuk ide- ide dan masa depannya secara realistis. Selanjutnya menurut Bruner (Budiningsih, 2004) perkembangan kognisi anak meliputi (1) tahap enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivias dalam upaya memahami lingkungan.  (2)  tahap  ikonik,  anak  memahami  dunia  melalui gambaran-gambaran dan visualiasi verbal. (3) tahap simbolik, anak telah memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.

Perkembangan kognisi menurut Lawrence Kohlberg (Syaodih, 2004) yaitu:

(1)  Tingkat Prekonvensional

(a)  Tahap orientasi kepatuhan dan hukuman, seperti kebaikan, keburukan, ditentukan oleh orang itu dihukum atau tidak.

(b)  Tahap orientasi egois yang naif, seperti tindakan yang betul ialah yang memuaskan kebutuhan seseorang.

(2)  Tingkat Konvensional

(a)  Tahap orientasi anak baik, seperti perilaku yang baik adalah bila disenangi orang lain.

(b) Tahap  orientasi  mempertahankan  peraturan  dan  norma nanasosial,  seperti  perilaku  yang  baik  ialah  yang  sesuai dengan harapan keluarga, kelompok atau bangsa.

(3)  Tingkat Post-Konvensional

(a) Tahap orientasi kontrak sosial yang legal, yaitu tindakan yang mengikuti  standar  masyarakat  dan  mengkonstruksi  aturan baru.

(b) Tahap orientasi prinsip etika universal, yaitu tindakan yang melatih  kesadaran  mengikuti  keadilan  dan  kebenaran universal.

Terdapat delapan tahap perkembangan Afeksi menurut Erikson yaitu  (1)  bersahabat  versus menolak  pada  umur  0  -1  tahun,  (2) otonomi versus malu dan ragu-ragu pada umur 1 -3 tahun, (3) Inisiatif versus perasaan bersalah pada umur 3 -5 tahun (4) Perasaan Produktif versus rendah  diri  pada  umur  6  -11  tahun,  (5)  Identitas  versus kebingungan pada umur 12 – 18 tahun, (6) Intim versus mengisolasi diri pada umur 19 – 25 tahun, (7) Generasi versus kesenangan pribadi pada umur 25 – 45 tahun, (8) Integritas versus putus asa pada umur 45 tahun ke atas.

Psikologi  belajar  membahas  tentang  faktor-faktor  yang mempengaruhi individu belajar dan bagaimana individu belajar yang dikenal dengan istilah teori belajar (Pidarta, 2007). Psikologi belajar yang berkembang sampai saat ini, pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi 3 kelas, antara lain:

(1)   Teori disiplin daya/disiplin mental (faculty theory).

Menurut teori ini anak sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya tertentu (faculties) yang masing–masing memiliki fungsi tertentu,  seperti  potensi/daya  mengingat,  daya  berpikir,  daya mencurahkan  pendapat,  daya  mengamati,  daya  memecahkan masalah, dan sejenisnya.

(2)   Behaviorisme.

Dalam aliran behaviorisme ini, terdapat 3 rumpun teori yang mencakup teori koneksionisme/asosiasi, teori kondisioning, dan teori  operant  conditioning (reinforcement).  Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang  bersifat  nyata  yang  dapat  dilihat  dan  diamati.  Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus – respon seoptimal  mungkin.  Tokoh  utama  teori  ini  yaitu Edward  L. Thorndike.

(3)   Organismic/Cognitive Gestalt Field.

Menurut  teori  ini  keseluruhan  lebih  bermakna  daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon. Stimulus yang hadir diseleksi menurut  tujuannya,  kemudian  individu  melakukan  interaksi dengannya terus-menerus  sehingga  terjadi  suatu  proses pembelajaran.  Belajar  menurut  teori  ini  bukanlah  sebatas menghapal tetapi memecahkan masalah, dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan cara anak didik dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara penyelesaiannya diserahkan kepada masing-masing anak didik yang pada akhirnya peserta didik dibimbing untuk mengambil suatu kesimpulan bersama dari apa yang telah dipelajari.

b. Landasan Sosiologis

 Landasan  sosiologis  bersumber  pada  norma  kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa sehingga tercipta nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat  kehidupan bermasyarakat  dan harus dipatuhi  oleh masing-masing anggota masyarakat (Robandi, 2005: 26). Di dalam masyarakat terdapat struktur sosial dan dalam struktur tersebut setiap inividu menduduki status dan peran tertentu. Sumantri dan Yatimah (2017) menjelaskan bahwa masyarakat dapat diidentifikasi melalui lima unsur yaitu: a) adanya sekumpulan manusia yang hidup bersama, b)  melakukan  interaksi  sosial  dalam  waktu  yang  lama,  c)  saling bekerjasama, memiliki keturunan, dan berbagai macam kebutuhan, d) memiliki kesadaran sebagai suatu kesatuan atau unity, e) suatu sistem hidup  bersama  yang  menghasilkan  kebudayaan  sehingga  masing- masing individu merasa terikat satu sama lain.

Manusia pada hakikatnya sebagai makhluk bermasyarakat dan berbudaya,  oleh  karena  itu  masyarakat  menuntut  setiap  individu mampu hidup demikian. Namun karena manusia tidak secara otomatis mampu  hidup  bermasyarakat  dan  berbudaya  maka  masyarakat melakukan pendidikan atau sosialisasi dan atau enkulturasi. Dengan demikian diharapkan setiap individu mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya sehingga tidak terjadi penyimpangan tingkah laku terhadp sisten nilai dan norma.

Dalam  konteks  pendidikan  Menurut  Bloom  (1956)  Manusia sebagai bagian dari masyarakat mengalami perkembangan perilaku individu  yaitu  pada  kawasan  kognitif,  psikomotor,  dan  afektif. Kawasan kognitif adalah segala upaya yang mencakup aktivitas otak. Kawasan afektif mencakup segala sesuatu yang terkait dengan emosi misalnya perasaan, nilai, penghargaan, semangat, motivasi dan sikap. Dan kawasan psikomotor meliputi gerakan dan koordinasi jasmani, keterampilan motorik dan kemampuan fisik. Pada kawasan kognitif  terdapat  tingkatan  ranah  belajar  yaitu  pengetahuan,  pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Pada kawasan afektif terdiri dari ranah yang behubungan dengan respons emosional terhadap tugas yaitu  penerimaan,  partisipasi,  penilaian  atau  penentuan  sikap, organisasi dan pembentukan pola hidup. Pada kawasan psikomotor yang  berkaitan  dengan  keterampilan  jasmani  terdiri  dari  ranah persepsi, kesiapan, gerakan yang terbimbing gerakan yang terbiasa, gerakan yang komplek, penyesuaian pola gerakan dan kreativitas.

Agar manusia mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya maka perlu  ada  keseimbangan  antar  kawasan  kognitif,  afektif  dan psikomotor  sebagai  wujud  dari  pengembangan  karakter. Pengembangan  karakter  dilakukan  secara  sistematis  dan berkesinambungan  melalui  pendidikan  yang  lebih  menonjolkan kawasan-kawasan  afektif  dan  psikomotor  melalui  penekanan bagaimana  mengevaluasi  perilaku,  akhlak  dan  moral  daripada menonjolkan kawasan kognitif semata.

Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat. Ciri dari paham integralistik adalah (1) kekeluargaan dan gotong royong kebersamaan,  musyawarah  mufakat;  (2)  kesejahteraan  bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat; (3) negara melindungi warga negaranya; (4) selaras dan seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia  secara  individu  melainkan  juga  meningkatkan  kualitas struktur masyarakatnya.

Kajian sosiologi tentang pendidikan pada dasarnya mencakup semua jalur pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan keluarga lingkungan lingkungan dalam berlangsung perguruan/sekolah dan lingkungan masyarakat (Rahmat, 2012:52). Ketiga lingkungan pendidikan tersebut memberi pengaruh yang dapat mengarah positif maupun negatif, sehingga lingkungan pendidikan berperan  menjadi  pusat  berlangsungnya  pendidikan  untuk pertumbuhan dan perkembangan pesert didik. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga). Keluarga  merupakan  lingkungan pendidikan yang  pertama  bagi perkembangan individu anak, karena sejak kecil anak tumbuh dan berkembang  dalam  lingkungan  keluarga. Awal  pendidikan  anak sebenarnya  diperoleh  melalui  keluarga,  dalam  dunia  pendidikan disebut  pendidikan  informal.  Pembelajaran  yang  terjadi  di  dalam keluarga terjadi setiap hari pada saat terjadi interaksi antara anak dengan  keluarganya.  Peran  orangtua  menjadi  panutan  bagi  anak- anaknya. Dalam keluarga, orangtua mempunyai peran yang sangat penting  dalam  membentuk  dan  mengembangkan  karakter  dan kepribadian anak.

Sekolah sebagai institusi sosial merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar secara formal atau disebut  juga  dengan  pendidikan  formal. Sekolah  memiliki  fungsi sebagai  alat  untuk  melakukan  perubahan-perubahan  (agent  of change), sesuai dengan tuntutan zaman. Sekolah berfungsi sebagai alat  untuk  mengintrodusir  nilai-nilai  baru  yang  memberikan kontribusi  terhadap  peningkatan  kualitas  hidup  dan  kehidupan masyarakat tanpa meninggalkan nilai lama yang perlu dipertahanlan agar  dapat  diadopsi  oleh  masyarakat,  demi  mengadaptasi perkembangan  teknologi  dan  pengetahuan,  yang  pada  akhirnya bertujuan agar kehidupan masyarakat lebih berkualitas.

Tugas utama sekolah yaitu berupaya untuk menciptakan proses pembelajaran secara efektif dan efisien untuk mengantarkan peserta didik mencapai prestasi yang memuaskan. Sekolah sebagai sistem sosial adalah suatu upaya untuk memahami tujuan, peran, hubungan dan perilaku berbagai komponen pendidikan di sekolah dalam setting sosial. Terdapat dua elemen dasar sekolah sebagai sistem sosial yaitu (1) institusi, peran dan harapan dalam menentukan norma bersama atau  dimensi  sosial,  (2)  individual,  personalitas  dan  pemenuhan kebutuhan  yang  merupakan  dimensi  psikologis.  Sekolah  sebagai sistem  sosial  diharapkan  mampu  mencapai  moral  kerja  anggota organisasi  yang  efektif,  efisien  dan  memuaskan  melalui  integrasi kebutuhan individu dan kebutuhan organisasi.

Masyarakat sebagai media transformasi sosial dapat dikatakan bahwa  masyarakat  merupakan  sekumpulan  manusia  yang  saling berinterkasi dalam suatu hubungan sosial. Anak dalam pergaulannya di  dalam  masyarakat  tentu  banyak  berinteraksi  secara  langsung maupun  tidak  langsung.  Secara  langsung  misalnya  anak  bermain dengan  teman-temannya  di  luar  rumah,  sedangkan  secara  tidak langsung  misalnya  anak  melihat  kejadian-kejadian  yang dipertontonkan  oleh  masyarakat. Keberhasilan  pendidikan  tidak hanya ditentukan oleh proses pendidikan di sekolah dan tersedianya sarana prasarana, tetapi juga ditentukan oleh lingkungan keluarga dan atau masyarakat  sehingga pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah (sekolah), keluarga dan masyarakat. Hal ini berarti orang tua murid dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk  ikut  berpartisipasi  dan  memberikan  dukungan  dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Terdapat hubungan saling menguntungkan antara sekolah dengan masyarakat  yaitu dalam bentuk  hubungan saling memberi, saling melengkapi,  dan  saling  menerima  sebagai  partner.  Sekolah  pada hakekatnya  mempunyai  fungsi  ganda  terhadap  masyarakat  yatiu sebagai agen pembaharuan bagi masyarakat sekitarnya dan memberi pelayanan.  Dengan  hubungan  yang  harmonis  tersebut  terdapat beberapa manfaat pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat yaitu  (1)  memperbesar  dorongan  mawas  diri  yaitu  pengawasan terhadap  kualitas  penyelenggaraan  pendidikan  oleh  masyarakat melalui  dewan  pendidikan  dan  komite  sekolah,  (2)  meringankan beban  sekolah  dalam  memperbaiki  serta  meingkatkan  kualitas penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah, (3) opini masyarakat terhadap sekolah alan lebih positif dan benar, (4) meningkatkan upaya peningkatan profesi mengajar guru, (5) masyarakat akan ikut serta memberikan kontrol/koreksi terhadap sekolah, (6) dukungan moral masyarakat akan tumbuh terhadap sekolah sehingga memudahkan mendapatkan  bantuan  material  dan  penggunaan  berbagai  sumber termasuk nara sumber dari masyarakat. Sedangkan bagi masyarakat dengan  adanya  hubungan  yang  harmonis  antar  sekolah  dengan masyarakat maka (1) masyarakat/orang tua akan mengerti tentang berbagai  hal  yang  menyangkut  penyelenggaraan  pendidikan  di sekolah,  (2)  keinginan  dan  harapan  masyarakat  dapat  mudah disampaikan dan di realisasikan oleh pihak sekolah, (3) masyarakat mendapat kesempatan untuk memberikan saran usul, maupun kritik untuk membantu menciptakan kualitas sekolah.

c. Landasan Historis

Landasan historis pendidikan nasional di Indonesa tidak terlepas dari sejarah bangsa indonesia itu sendiri. Bangsa Indonesia terbentuk melalui  suatu  proses  sejarah  yang  cukup  panjang  sejak  zaman Kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datangnya bangsa lain yang menjajah serta menguasai bangsa Indonesia. Dengan kata lain, tinjauan landasan sejarah atau historis Pendidikan Nasional Indonesia merupakan  pandangan  ke  masa  lalu  atau  pandangan  retrospektif. Pandangan  ini  melahirkan  studi-studi  historis  tentang  proses perjalanan pendidikan di Indonesia yang terjadi pada periode tertentu di masa yang lampau.

Dilihat  dari  pendidikan  di  masa  lampau  Indonesia  dapat dikelompokan menjadi enam tonggak sejarah (Robandi, 2005) yaitu (a)  pendidikan  tradisional  yaitu  penyelenggaraan  pendidikan  di nusantara yang dipengaruhi oleh agama-agama besar di dunia seperti Hindu, Budha, Nasrani dan Nasrani. (b) pendidikan kolonial barat yaitu penyelenggaraan pendidikan dinusantara yang dipengaruhi oleh pemerintah kolonial barat terutama kolonial Belanda (c) pendidikan kolonial jepang yaitu penyelenggaraan pendidikan dinusantara yang dipengaruhi oleh pemerintah kolonial jepang pada masa perang dunia II (d) pendidikan zaman kemerdekaan, (e) pendidikan zaman orde lama dan baru, (f) pendidikan zaman reformasi yaitu penyelenggaraan pendidikan dengan sistem pendidikan desentralisasi. Kondisi historis dari  keenam  tonggak  sejarah  pendidikan  tersebut  mempunyai implikasi terhadap penyelenggaraan pendidikannya dalam hal tujuan pendidikan,  kurikulum/isi  pendidikan,  metode  pendidikan  dan pengelolaanya serta kesempatan pendidikan.

4. Landasan Religi

 Landasan religi adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari religi atau agama yang menjadi titik tolak dalam rangka praktik pendidikan dan atau  studi  pendidikan  (Hasubllah,  2008).  Landasan  religius  ilmu pendidikan  bertolak  dari  hakikat  manusia  yaitu  (1)  Manusia  sebagai makhluk Tuhan YME; (2) Manusia sebagai kesatuan badan dan rohani; (3) Manusia sebagai makhluk individu, (4) Manusia sebagai makhluk sosial. Manusia adalah mahkluk Tuhan YME. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia  merupakan  konsekuensi  fungsi  dan  tugas  manusia  sebagai khilafah  dimuka  bumi  ini.  Manusia  adalah  subjek  yang  memiliki kesadaran  (consciousness)  dan  penyadaran  diri  (self-awarness).  Oleh karena itu, manusia adalah subjek yang menyadari keberadaannya, ia mampu membedakan dirinya dengan segala sesuatu  yang ada di luar dirinya (objek). Selain itu, manusia bukan saja mampu berpikir tentang diri dan alam sekitarnya, tetapi sekaligus sadar tentang pemikirannya. Namun, sekalipun manusia menyadari perbedaannya dengan alam bahwa dalam konteks  keseluruhan  alam  semesta  manusia  merupakan  bagian daripadanya.  Oleh  sebab  itu,  selain  mempertanyakan  asal  usul  alam semesta  tempat  ia  berada,  manusia  pun  mempertanyakan  asal-usul keberadaan dirinya sendiri.

Manusia adalah kesatuan jasmani dan rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu, serta mempunyai tujuan. Selain itu, manusia mempunyai potensi untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan potensi untuk berbuat baik, potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya. Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas,  sosialitas,  moralitas,  keberbudayaan,  dan  keberagaman. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau berkomunikasi, memiliki historisitas, dan dinamika.

Agar  manusia  mampu  menjadi  khalifah  yang  baik  maka memerlukan  pendidikan.  Pendidikan  harus  berfungsi  memanusiakan manusia. Pendidikan adalah humanisasi, sebagai humanisasi, pendidikan hendaknya dilaksanakan untuk membantu perealisasian/pengembangan berbagai  potensi  manusia,  yaitu  potensi  untuk  mampu  beriman  dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berbuat baik, hidup sehat, potensi cipta, rasa, karsa dan karya. Semua itu harus dikembangkan secara menyeluruh dan  terintegrasi  dalam  konteks  kehidupan  keberagamaan,  moralitas, individualitas, sosial dan kultural.

Dalam landasan religius, anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan YME, yang harus dijaga dan dibina karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa  (PBB)  tentang  hak-hak  anak.  Anak  memerlukan  pendidikan akhlak yang baik dalam proses tumbuh kembangnya. Jamaluddin (2012) memaparkan bahwa peran orangtua sangat penting dalam membentuk kepribadian anak pada masa yang akan datang.

Dalam rangka pencapaian pendidikan, setiap agama berupaya untuk melakukan  pembinaan  seluruh  potensi  manusia  secara  serasi  dan seimbang,  karena  dengan  terbinanya  seluruh  potensi  manusia  secara sempurna  diharapkan  ia dapat  melakukan  fungsi  pengabdian  sebagai khalifah di muka bumi. Potensi-potensi yang harus dibina meliputi seluruh potensi yang dimiliki, yaitu potensi spiritual, kecerdasan, perasaan dan kepekaan.  Potensi-potensi  tersebut  merupakan  kekayaan  dalam  diri manusia  yang  berharga.  Untuk  itu,  diperlukan  pendidikan  untuk membentuk manusia menjadi insan yang mendekati kesempurnaanatau memiliki kepribadian yang utama. Pendidikan bagi anak berupaya untuk memberikan bimbingan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak- anak dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan masyarakat. Untuk mempelajari lebih lanjut tentang landasan ilmu pendidikan dapat diakses melalui link berikut: http://bit.ly/2rhxLEe